1966, Dengan dukungan kalangan mahasiswa dan pelajar, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai pembenahan, baik di sektor politik, ekonomi, sosial budaya, dan tentunya juga sektor pertahananan dan keamanan. Pada saat yang bersamaan di Eropa dan Amerika juga sedang berkembang gerakan moral, salah satu organisasi yang menggagas gerakan itu adalah Moral Re-armament, dengan tokohnya Mr. FG. Hendricks dari Belanda (beliau juga sempat bertandang ke Indonesia untuk mempelajari aktivitas mahasiswa dan pelajar sepanjang tahun 1966).
Pada waktu yang hampir bersamaan, Dr AM. Kadarman SJ, yang pada saat itu masih menjabat sebagai Ketua Jurusan Ekonomi IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, sedang melakukan lawatan ke Eropa. Sekembalinya dari Eropa beliau mempunyai gagasan untuk mendirikan sekolah bisnis semacam Harvard Business School di Indonesia. Lewat perantara Mr. F. Diepen, Direktur Fokker (perusahaan pesawat terbang), Dr. Kadarman bertemu dengan Mr. FG. Hendricks di Belanda. Keduanya sepakat menyatukan gagasan dan berusaha mewujudkan sekolah bisnis tersebut di Indonesia.
Dr. Kadarman dan Mr. FG. Hendricks berusaha menemui beberapa pengusaha, termasuk pengusaha dari pabrik mobil DAF, dan pejabat Direktorat Kerjasama Teknik Internasional dari Departemen Luar Negeri Belanda, untuk memuluskan gagasan tersebut. Pada prinsipnya pengusaha bersama dengan Pemerintah Belanda bersedia memberikan subsidi, dengan syarat di Indonesia terdapat badan yang representatif untuk menampung pelaksanaan gagasan tersebut.
Dalam hal lain pada saat itu situasi politik di Indonesia, meskipun mulai stabil tapi masih mengandung kerawanan dan sedang menghadapi konflik sektarian yang mengkhawatirkan, sehingga badan yang akan dibangun harus sedapat mungkin meredam kerawanan dan konflik yang kemungkinan akan mengemuka.